Maksimalkan Medsos Buat Jihad Digital


Untuk  beberapa hari ini, sengaja aku 'puasa' dari up date statusku di facebook. Pasalnya emang aku lagi nggak 'ngeh' atau moodku lagi nggak on dan hampir mendekati titik nadir ke fase 'jenuh'. Apalagi jika postingan yang harus aku share dan bagikan ke teman2  netter aku gali dari hasil investigasi fakta dan data, bukan sekedar intuisiku semata. Atau meminjam istilah teman pengamat media sosial atau medsos, bukan sekedar cas-cis- cus dan - maaf -  berbau 'sampah'. Ini yg terkadang membuat aku perlu buat menyiapkan 'energi' lebih agar nggak masuk kategori 'sampah' tadi.

Tapi, tiap kali pengin ngelihat postingan dan konten yang ada, si 'pintar' facebook selalu bertanya " apa yang anda pikirkan?" Seolah aku - mungkin anda juga - ditantang buat menjelaskan unek2 yang lagi bergemuruh  dipikiranku.  Lalu, 'tergodalah' aku untuk kembali hunting ngumpulin sejumlah data yang faktual buat melengkapi menu dan konten tulisan, agar tak cuma bernilai  informatif  tapi juga inspiratif dan edukatif.serta - ini yang penting -  bisa aku pertanggungjawabkan akurasinya.

Meski, sebetulnya - agar eksis - bisa saja status di FB ku penuh dengan copy paste atau copas saja dari tetangga sebelah, dengan harapan 'mengejar target' untuk di-like, syukur2 dikomentarin dan dikirim gambar jempol oleh sahabat netter lainnya, "wouw emang mengasyikkan".

Nah, buat yang ini - jujur - aku nggak terlalu piawai, sebab meng-copas emang ndak sekedar asal2an, tentu etikanya harus izin dulu pada sumbernya atau si pembuat tulisan.

Disamping, meng-copas memang harus cerdas, karena berita, foto, atau yang sejenis - maaf - belum tentu akurat dengan faktanya alias benar adanya.

Kesahihan dan kejelasan sumber berita harus benar2 dicermati sebelum aku bagikan atau aku share ke publik.  Karena bisa jadi, informasi yang aku dapat ternyata nggak valid atau ndak sahih, bahkan beraroma informasi dha-if alias palsu yang - meminjam istilah teman2 di dunia maya - lumrah disebut hoax.

Selain yang tadi, aku juga nggak bisa membuat status yang cuma up loude foto diri alias narsis tanpa narasi dan ngejellasin apa2.

Nah tentu saja - maaf banget - ini yang aku nggak bisa,  karena mungkin fenomena kayak gini yang sempat membuat para'penggede' di MUI jadi tergerak buat mutusin fatwa haram bagi perempuan beristri yang 'over performance' atau 'selfy full'  di medsos.

Sebab lebih banyak mengundang mudharatnya daripada manfaatnya. atau lebih gede implikasi negatifnya ketimbang efek positifnya.

Karena, menurut komunitas para ulama itu,  ujung- ujungnya bakal mengundang netter - beda jenis - lainnya unt membuat komitmen yang bertabrakan dengan aturan syari'ah.

Tentu, ini nggak cuma keluar dari koridor 'nawaitu' pertemanan tadi, sebab sudah menggoyang harmonisasi keluarga bahkan yang lebih gede bisa mengganggu stabilitas masyarakat karena dah memunculkan patologi atawa penyakit masyarakat berupa perselingkuhan.

Dengan kata lain, mengumbar seseorang untuk - maaf meminjam istilah da'i kondang ust. Wijayanto - tak hanya berpindah ke lain hati tapi bahkan kelain body, nauzubillah.

Jadi, emang aku nggak boleh main2 buat urusan yang satu ini, karena dlm perspektif agama, dalam konteks sekarang, idealnya medsos - termasuk up date status - adalah alat dakwah yang cukup efektif buat membangun opini publik ke arah yang positif dan yang dikehendaki agama.

Bahkan ia juga cukup canggih buat memotivasi dan memobilisasi massa seperti fenomena 212 kemarin.

Malah, konon runtuhnya rezim presiden Mesir Hoesni Mubarak dari tampuk kekuasaannya selama puluhan tahun itu gara2 dipicu 'dakwah' proposisi plus demonstran lewat medsos.

Dan, yang masih hangat, kabarnya kemenangan Donal Trum buat meraih tiket tahta presiden Amerika antara lain juga karena 'provokasi' team suksesnya lewat medsos.

Jadi, yok kita super hati2 memanfaatkan medsos, maksimalkan medsos buat jihad digital, bukan sesuatu yg merusak. Atau buat amar ma'ruf nahi Munkar, bukan amar munkar nahi ma'ruf.  Wallahu'alam.(sum)