Lumpur Lapindo,10 Tahun Usiamu.....

Mungkin hanya sebuah kebetulan belaka, lebaran kali ini kami sekeluarga bisa menikmati pemandangan indah , di sepanjang jalan porong ,hamparan bukit hijau yang sangat tinggi berdiri kokoh membentengi lumpur di sekitarnya .
kisah lumpur lapindo berawal tanggal 4 Juni 2015 yang lalu,  sebuah lokasi monumental di Jawa Timur, lokasi yang mulai “populer” sejak 10 tahun yang lalu berada di wilayah Porong, Sidoarjo. Begitu menyebut nama daerah tersebut, pasti semua orang akan segera berasumsi tentang lumpur Lapindo atau lumpur Sidoarjo, dan benar asumsi tersebut, di tengah teriknya matahari, dari bibir tanggul setinggi 12 meter itu, aku sempat memandang hamparan luas lumpur yang permukaannya kini agak mengering mirip lautan pasir putih.
Dengan bantuan tangga darurat yang terbuat dari bambu, aku mulai “memanjat” dinding tanggul setinggi 12 meter untuk sampai ke bibir tanggul. Sampai di bibir tanggul yang memiliki lebar sekitar 15 meter itu, kami segera disuguhi pemandangan yang mengejutkan, sebuah hamparan seperti pasir putih membentang seolah tanpa batas, meski terlihat kering, tapi jangan coba-coba “blusukan” ke pinggir apalagi ke tengah hamparan lumpur itu, karena sangat berbahya, lumpur panas yang saat itu tidak terlihat di permukaan, bisa saja “menyedot” tubuh anda. Warga desa yang tempat tinggalnya sudah terkubur di dasar lautan lumpur, yang kami temui di sepanjang tanggul juga berkali-kali mengingatkan kepada kami untuk tidak mendekati hamparan lumpur itu. Konon, menurut hasil penelitian dari berbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi, lumpur Lapindo memiliki kandungan logam berat dan gas beracun seperti Arsen, Barium, Timbal, Merkuri dan Sianida yang sudah melebihi ambang batas keselamatan manusia dan makhluk lainnya, itulah sebabnya ditengah hamparan lumbur yang mongering di bagian atasnya itupun nyaris tidak terlihat “tanda-tanda kehidupan”
Beberapa gubuk sederhana terlihat berdiri di bibir tanggul, gubuk-gubuk itu digunakan para pendagang minuman dan makanan ringan bagi para “tamu” pengunjung tanggul, beberapa tukang ojek juga siap mengantarkan pengunjung untuk mengelilingi tanggul dengan tariff yang lumayan murah hanya sekitar Rp 20.000,- saja. Sebenarnya ingin sekali aku menaiki ojek mengelilingi tanggul “bersejarah” itu, tapi karena keterbatasan waktu dan kami datang secara rombongan, akhirnya aku harus puas memandangi lautan lumpur itu dari sebuah sudut saja.
Beberapa pemuda nampak menjajakan VCD yang berisi dokumentasi lumpur Lapindo dari awal sampai dengan saat ini. Sebenarnya isi VCD itu bisa saja aku download dari internet, tapi rasa kasihan dan simpati terhadap para “korban” lumpur itu membuatku rela merogoh kantongku untuk membeli VCD seharga Rp 50.000,- itu, dalam kondisi normal mungkin itu terlalu mahal, tapi dalam situasi “kemanusiaan” yang begitu menyentuh, harga itu mungkin justru sangat murah.
Sekilas, pemandangan di lokasi itu sepertinya sebuah pemandangan membuatku begitu “trenyuh”, siapa sangka hamparan lautan lumpur seluar kurang lebih 640 hektare yang “menyembur” akibat kecerobohan manusia (human error) sejak 29 Mei 2006 yang lalu itu, “terkubur” sekitar 10.426 rumah tempat tinggal warga di 17 desa pada 3 kecamatan yaitu Porong, Jabon dan Tanggulangin, lautan lumpur itu juga sudah “menelan” 77 unit rumah ibadah (masjid dan musholla), 30 unit bangunan pabrik, 18 unit bangunan sekolah dan 4 unit bangunan kantor pemerintah.
Bukan itu saja, luapan lumpur yang di”muntahkan” dari perut bumi di desa Renokenongo, Porong, yang nyaris tak terkendali juga sempat “memporak porandakan” infra struktur di sekitar lokasi, semua jaringan listrik dan telepon hancur total, jalur kereta api Surabaya-Malang terganggu, ruas jalan tol Surabaya-Gempol lumpuh dan lebih dari 31.000 orang kehilangan mata pencaharian.
“Perjalanan” lumpur Sidorajo memang begitu panjang, sejak muncul 9 tahun yang lalu, sampai saat ini masih menyisakan berbagai permasalahan. PT Lapindo Brantas sebagai pihak yang ditengarai sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kejadian ini konon sudah merogoh kocek perusahaan tidak kurang dari 2.7 triliun rupiah, sementara “uang rakyat” yang berasal dari APBN yang sudah “ditelan” oleh lumpur Lapindo nyaris menjacapai 3,5 triliun. Sebagian besar anggaran itu adalah sebagai kompensasi atas kejadian yang awalnya merupakan human error itu lalu berkembang menjadi sebuah “bencana nasional” itu, sementera untuk pembuatan tanggul pengaman, agar lumpur “beracun” itu tidak merambah keman-mana, tidak kurang 1,2 triliun duit rakyat yang sudah terserap disana. Jumlah yang tergolong “wah” itu ternyata belum cukup, masih diperlukan dana sekitar 827 miliar lagi untuk “menuntaskan” ganti rugi bagi warga yang terkena dampak lumpur Lapindo. “Ketidak berdayaan” PT Lapindo Brantas, akhirnya “memaksa” pemerintah untuk turun tangan mengucurkan dana talangan.
Dana talangan itulah yang memicu para warga yang belum memperoleh “hak”nya, kemudian terus bertahan di bibir tanggul dan sepanjang jalan yang melintasi wilayah dampak luapan lumpur Lapindo. Konon dana itu akan “cair” pada tanggal 26 Juni 2015 ini, tapi dari penuturan mereka, belajar dari penanganan ganti rugi pada tahun-tahun sebelumnya, mereka terlihat pesimis terhadap realisasi pencairan dana talangan itu.
Melihat wajah-wajah yang nyaris “putus asa” itu, siapapun pasti akan merasa “tersentuh”, tapi satu hal yang membuatku salut pada mereka, adalah ketegaran mereka yang seperti tidak membutuhkan belas kasihan, meski merka butuh bantuan, tapi aku tidak melihat mereka membawa-bawa kotak sumbangan seberti di daerah yang terkena bencana lainnya. Keterpurukan mereka, tidak lantas membuat mereka berubah menjadi peminta-minta, mereka tetap bertahan hidup dengan usaha mereka, disitu aku melihat ketegaran jiwa mereka, para korban lumpur Lapindo.
Kalaupun mereka sengaja “menghadang” para pengguna jalan untuk singgah sejenak, mereka sama sekali tidak membutuhkan belas kasihan dari para pengunjung, mereka melakukan itu hanya untuk menunjukkan betapa kecerobohan pihak-tertentu telah membuat hidup mereka menderita.
Meninggalkan kawasan Renokenongo, sebuah desa yang kini sudah “hilang” ditelan keganasan lumpur Lapindo, terasa ada yang “mengiris” perasaanku, ada sekeping duka melihat penderitaan saudara-saudara kita disana. Tapi sayangnya aku tak mampu berbuat apa-apa, yang bisa kulakukan hanyalah menuliskannya dan mengangkatnya ke media, sambil berharap agar pihak-pihak terkait tidak lagi “ingkar janji” untuk memuhi hak-hak mereka yang memang telah dibuat menderita akibat kecerobohan segelintir manusia ini.