1. Islam
Itu Damai (Ramah Anak)
Kata
“Islam” berasal dari bahasa arab yang memiliki beberapa makna. Pertama : Islam
merupakan akar kata aslama – yuslimu – islaman yang berarti khadla’a, atau
inqaada yaitu submission, resignation, surrender, yielding, giving up, giving
in atau tunduk, pasrah, menyerah, ketundukan, tau penyerahan diri.
Kedua :
Kata Islam berasal dari kata salima artinya selamat. Maksudnya selamat dunia
akhirat. Juga Islam merupakan jalan keselamatan bagi manusia untuk meraih
kebahagiaan dunia akhirat. Ketiga : Islam berasal dari kata silmun artinya
damai, yakni damai dengan Allah, damai dengan makhluk dan damai dengan sesama.
Damai dengan Allah tidak lain adalah taat kepada Allah dan tidak bermaksiat
kepada-Nya.
Taat
kepada Allah berarti menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangn-Nya. Damai
dengan makhluk berarti memperlakukan alam semesta (flora, fauna, mineral dan
lainnya baik makhluk hidup maupun mati) sebagai sesama makhluk Allah,
berinteraksi secara santun, melindungi dan melestarikan alam. Damai dengan
sesama berarti hidup rukun dengan sesama manusia, tidak berbuat jahat, bahkan
berbuat baik kepada sesama manusia tanpa memandang perbedaan agama, warna
kulit, ras, seks (gender), suku, bangsa, bahasa, keturunan, kekayaan, pangkat
atau kedudukan dan lain sebagainya.
Hubungan
antar sesama manusia ini merupakan perwujudan ajaran Islam tentang
persaudaraan (ukhuwah), baik antar sesama muslim (ukhuwah Islamiyah), sesama
bangsa (Ukhuwah wathaniyah), maupun sesama manusia sedunia (ukhuwah Insaniyah).
Allah berfirman :
Artinya :
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Berdasarkan
pengertian di atas menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang memiliki
prinsip nilai luhur yang menghargai kemanusiaan sesuai dengan fitrahnya dan
mengutamakan keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan dan perdamaian. Dalam hal
ini ada beberapa prinsip dalam Islam, di antaranya :
Pertama,
Sumber normative Islam adalah Al Qur’an dan Hadits. Meskipun kata Al Qur’an
dapat diartikan sebagai “bacaan” atau “kumpulan firman Allah”, namun fungsi Al
Qur’an itu sendiri bukan untuk sekedar “dibaca” dan “dikumpulkan” sebagai
pajangan di rak buku. Lebih dari itu Al Qur’an berfungsi sebagai petunjuk
(huda) bagi orang yang bertaqwa ke jalan yang lurus. Serta gambar gembira bagi
orang yang beramal sholeh.
Kedua,
ajaran pokok Islam meliputi keimanan (Aqidah), hukum (Syariah), dan modal
Islami (Akhlak). Inti dari keimanan adalah tauhid atau mengesakan Tuhan dalam
segala hal, yakni beriman kepada Allah, kepada Malaikat, Kepada Kitab Allah,
Kepada Utusan Allah, Kepada Hari Kemudian, dan Kepada Ketentuan Allah. Sikap
bertauhid ini diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran bahwa semua manusia adalah
sama-sama sebagai makhluk. Perbedaan warna kulit, ras, seks, gender, bangsa,
agama, bahasa, keturunan, status sosial, dan lain sebagainya. Merupakan
sunatullah dan seharusnya tidak boleh dijadikan sebagai pengesyahan untuk
permusuhan dan konflik kekerasan.
Ajaran tentang
syariah atau hukum Islam yang mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhannya
(hablun min Allah) terwujud pada ketaatan dan ketaqwaan seorang hamba terhadap
Tuhannya, yakni dalam bentuk ibadah. Sedangkan hukum Islam yang mengatur
hubungan antara sesama manusia (hablun min al nas) terwujud dalam interaksi
sosial antar sesama manusia dalam bentuk muamalat. Ajaran tentang akhlak
bersangkut paut dengan gejala jiwa yang dengannya dapat menimbulkan perilaku.
Ketiga,
Sumber dan ajaran Islam sudah semestinya diaktualisasikan dalam kehidupan.
Aktualisasi ini menyangkut pelaksanaan hak dan kewajiban seseorang kepada
Tuhannya, Rosulnya, diri sendiri, sesama manusia, keluarga, masyarakat, alam
semesta dan ilmu pengetahuan.
2. Tujuan
Pendidikan Islam
Banyak para
peneliti yang mengemukakan tentang tujuan dari pendidikan Islam, di antaranya
adalah Nahlawy (1963 : 67) yang menunjukkan empat tujuan umum dalam pendidikan
Islam, yaitu :
a.
Pendidikan akal dan persiapan pikiran, Allah menyuruh manusia merenungkan kejadian
langit dan bumi gar dapat beriman kepada Allah
b.
Menumbuhkan potensi-potensi dan bakat-bakat asal pada kanak-kanak. Islam adalah
agama fitrah, sebab ajarannya tidak asing dari tabiat asal manusia, bahkan ia
adalah fitrah yang manusia diciptakan sesuai dengan-Nya, tidak ada kesukaran
dan perkara luar biasa
c. Menaruh
perhatian pada kekuatan dan potensi generasi muda dan mendidik mereka
sebaik-baiknya, baik lelaki ataupun perempuan
d.
Berusaha untuk menyeimbangkan segala potensi-potensi dan bkat-bakat manusia
Atau lebih
tegas lagi tujuan pendidikan adalah untuk menjawab persoalan untuk apa kita
hidup. Firman Allah :
Artinya :
Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.(QS. Az Zariyat : 56)
Menyembah
atau ibadah dalam pengertian yang luas berarti mengembangkan sifat-sifat Tuhan
pada diri manusia menurut petunjuk Allah. Apakah sifat-sifat Allah itu ? yaitu
sifat dua puluh, tetapi diberi 99 nama dan disebut Al Asma Al Husna. Yaitu
nama-nama Allah yang baik seperti Ar Rahman, Ar rahim, Al Qudduss dan lain
sebagainya.
Sebagaimana
disebutkan di atas bahwa modal dasar pendidikan Islam adalah fitrah, ini
berarti bahwa manusia lahir dengan potensi yang kita katakan tadi sifat-sifat
Tuhan yang diberikan kepada manusia yang tergambar dalam sifat dua puluh yang
mempunyai 99 nama itu. Termasuk ilmu, berkuasa, bercakap, kasih sayang dan
lain-lain.
Pandangan
dunia (world view) Islam bersifat Humanis Teosentris. Konsep ini mengandung
arti bahwa keseluruhan alam semesta berpusat pada Tuhan, di mana alam tunduk
kepadanya dan manusia tidak memiliki tujuan hidup lain kecuali menyembah
kepadanya. Hal ini menjadi indikasi konsep kehidupan yang teosentris. Tapi
kemudian ternyata bahwa sistem tauhid ini mempunyai arus balik kepada manusia.
Maka di dalam Islam konsep teosentrisme ternyata bersifat humanistic. Artinya,
menurut Ilam manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya
adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri. Jadi humanisme teosentrisme
inilah yang merupakan nilai-nilai (Core value) dari seluruh ajaran Islam.
Sifat
humanis teosentris sebagai pandangan dunia (world view) dalam Islam akan
menjadi konsep dasar dari pemikiran pendidikan Islam. Sifat ini terlihat pada
watak dasarnya yang tidak pernah terlepas dari konsep khalifah sebagai
mabda’nya dan konsep ‘abd sebagai maqshd al a’dham. Artinya konsep pendidikan
Islam haruslah berpihak pada konsep khalifah baik sebagai titik awal, proses
maupun produk. Sebagai titik awal, artinya dalam pendidikan subjek didik
haruslah di pandangan sebagai manusia yang berfungsi sebagai Khalifah Allah fi
Al Ardl yang punya misi untuk memakmurkannya. Sebagai proses, artinya agar
subjek didik mampu mengembang manat Allah yang dibebankan kepadanya, yakni
sebagai khalifah Allah, maka ia harus diproses dalam dunia pendidikan dengan
cara menanamkan nilai-nilai ke dalam dirinya. Pengertian nilai-nilai di sini
bukan hanya sebatas pada pentransferan ilmu pengetahuan, budaya, moral, etika
dan sopan santun, namun nilai-nilai itu juga mempunyai daya motivator yang
tinggi bagi subjek didik untuk bersikap kreatif dan proaktif dalam memecahkan
problematika-problematika hidup dan merubah tatanan sosial yang dianggapnya
tidak baik. Sedangkan sebagai produk, artinya setelah subjek didik mengalami
proses pendidikan, ia diharapkan mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang
pernah didapat dari proses pendidikan, sehingga dalam produknya ia benar-benar
menjadi Khalifah Allah fi Al Ardhl. Kemudian konsep ‘abd sebagai maqshad al
a’dham, artinya segala perilaku yang merupakan produk dari pendidikan itu
haruslah bertujuan untuk mengabdi kepada Allah semata bukan kepada selain-Nya.
3. Metode
Pendidikan Islam
a. Metode
Amaliya atau Praktek
Ajaran
Islam tidak cukup diberikan nasehat, melainkan memerlukan amal nyata sehingga
esensi ajaran Islam tidak dipahami sekedar sebagai simbol, namun terbentuk
dalam pribadi manusia secara totalitas.
b. Metode
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Kebanyakan
perilaku kekerasan yang ada di berbagai negara, bukan terjadi karena substansi
kekerasannya, melainkan karena fungsi manusia dalam menjalankan yang makruf dan
larangan yang munkar tidak berjalan secara efektif. Firman Allah :
Artinya :
kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali
Imron : 110)
Implikasinya
metode amar makruf nahi munkar dalam pendidikan bisa terwujud melalui penegakan
aturan, tata tertib, kode etik dan disiplin civitas akademika.
c. Metode
Nasehat
Sesungguhnya
Al Qur’an datang dengan membawa nasehat dan pelajaran yang jelas bagi manusia.
Allah berfirman :
Artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.(QS. An Nisa : 58)
d. Metode
Kisah
Dalam
kisah seringkali terdapat perumpamaan (amtsal) atau ibarat dan karena itu
metode ini bisa juga dinamai dengan metode amtsal atau ibrah. Allah berfirman :
Artinya :
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang
yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi
membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan
sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.(QS. Yusuf : 111)
e. Metode
Uswatun Hasanah
Di antara
faktor-faktor yang berpengaruh bagi pendidikan anak dalam kehidupan sehari-hari
adalah keteladanan. Dengan keteladanan, baik dari orang tua, guru, masyarakat,
tokoh maupun jagoan fiktif yang diidolakan, mampu mendorong seseorang menjadi
manusia yang saleh atau merusak dirinya sendiri dan menjadi jahat. Al Qur’an
menandaskan dengan tegas pentingnya teladan dan pergaulan yang baik dalam
membentuk kepribadian seseorang. Sedang teladan muslim adalah Nabi Muhammad
SAW. Allah berfirman :
Artinya :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan Dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahzab : 21)
Di
sekolah, seorang guru menjadi teladan ; di rumah orang tua adalah sosok
teladan. Oleh karenanya, baik guru maupun orang tua tidak bisa mengelak dari
tanggungjawabnya untuk memberi contoh yang baik, sebab perilakunya akan
membekas dalam diri anak. Bila keteladanan guru dan orang tua sudah tidak
didapat, maka anak kan mencari keteladanan di luar mereka, dari teman,
lingkungan, masyarakat atau dari media massa yang lebih sulit untuk dikontrol,
bahkan seringkali membawa pengaruh negatif bagi anak didik.
f. Metode
Hiwar (Metode tanya jawab, dialog, diskusi, debat dan sejenisnya)
Metode ini
menumbuhkan sikap kritis dan saling pengertian. Pertumbuhan sikap saling
mengerti di tengah masyarakat merupakan masalah mendasar, sebab dengan saling
pengertian meskipun beda pendapat dapat menyebabkan orang dengan budaya, bahasa,
agama, ras, seks, adat dan status sosial yang berbeda, dapat duduk berdampingan
satu sama lain dalam agree in disagreement.
4. Etika
Guru Terhadap Murid
Ajaran
Islam sarat dengan nilai kasih sayang. Tiap kali seorang muslim hendak membaca
Al Qur’an, ia dianjurkan untuk mengawali bacaannya dengan ucapan Bismillah Al
Rahman Al Rahim, dengan nama Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Bahkan setiap amalan yang dilakukan oleh seorang muslim, dianjurkan untuk
mengawalinya dengan ucapan tersebut.
Ini
berarti bahwa Islam mendidik umatnya agar memiliki karakter sebagai manusia
yang penuh kasih sayang, penyantun, pengampun atau pemaaf, membawa berkah bagi
yang lain dan menjalin tali rahim sehingga tercapai kasih sayang pada dasarnya
membawa nikmat. Sebab, dengan kasih sayang, kebencian dapat berubah menjadi
kecintaan. Bahkan, sikap mengasihi ini tidak sebatas sesama manusia, melainkan
sesama makhluk.
Ajaran
yang telah disebutkan di atas tadi menjadi kode etik bagi penyelenggaraan
pendidikan Islam, utamanya bagi para pelaku pendidikan seperti guru dan murid.
Mengenai
ini Al Ghazali menerangkan etika guru terhadap murid sebagai berikut :
a. Guru
harus menaruh rasa kasih sayang terhadap murid dan memperlakukan mereka seperti
perlakuan terhadap anak sendiri
b.
Hendaknya guru tidak mengharapkan balas jasa ataupun ucapan terima kasih,
tetapi bermaksud mengajar untuk mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri
kepada Tuhan
c.
Hendaknya guru memberi nasehat kepada murid setiap ada kesempatan
d.
Hendaknya mencegah murid dari akhlak yang tidak baik dengan jalan sendirian
jika mungkin, dan jangan dengan cara terus terang, dengan jalan halus dan jangan
mencela
e. Guru
hendaknya memperhatikan tingkat akal pikiran, anak-anak dan berbicara dengan
mereka menurut kadar akalnya dan jangan disampaikan sesuatu yang melebihi
tingkat tangkapnya, agar ia tidak lari dari pelajaran. Ringkasnya bicaralah
dengan bahasa mereka
f.
Seyogyanya murid yang masih di bawah umur diberikan pelajaran yang jelas dan
pantas buat dia, dan tidak perlu disebutkan kepadanya akan rahasia-rahasia yang
terkandung di belakang semua itu, hingga tidak menjadi dingin kemauannya atau
gelisah pikirannya
g. Sang
guru harus mengamalkan ilmunya dan jangan berlain kata dengan perbuatannya