SAWANG SINAWANG
Sawang
sinawang kata orang jawa. Maksudnya, kebahagiaan dan kesusahan orang lain hanya
bisa dilihat (sawang) dari luar. Kenyamanan atau keenakan seseorang hanya dalam
pandangan mata orang lain saja, berbeda dengan yang mengalami sendiri.
Seperti kami, selalu dipandang orang enak dan tak pernah kekurangan. Aku cukup mengamini dan mengucap alhamdulillah, karena kupikir hal tersebut adalah doa untuk keluargaku. Tapi orang tak pernah tau jika kamipun sama. Kerap kekurangan uang alias g punya uang. Kejayaan hanya dalam pandangan mata, mereka tak pernah tahu kebutuhan kami ataupun tanggungan kami.
Kerap kami
memang menjadi jujukan mereka yang butuh uang untuk berhutang. Sekedar ratusan
ribu atau jutaan. Jika yang berhutang saudara berat rasanya menolak. Kalaupun
tak ada, selalu kami sisihkan semampu kami untuk membantu mereka walaupun tidak
banyak sesuai yang mereka butuhkan. Bahkan pernah ada yang meminjam sekedar
25.000 padahal tanpa ia (yang hutang) tahu uangku cuma 30.000. Aku cukup
membawa 5.000 asal bisa untuk isi dompet, kalau-kalau aku kehabisan bensin di
tengah jalan.
Bagiku membantu tidak menunggu ketika harus ada uang. Keadaan g punya uang pun sebisa mungkin turut membantu. Bagaimanapun ketika orang berhutang minimal dia sudah mempunyai keberanian, keberanian untuk menungungkapkan hutang. Eh iya lho. Kerap kalo aku kehabisan uang dalam keadaan no money, justru aku lebih memilih kelaparan. Tidak belanja, suami cukup kuberi makan dengan lauk sambal. Pernah ketika 3 hari sebelum gajian, uang belanja sudah menipis. Uang cukup untuk jatah rokok suami, akupun memutar otak bagaimana caranya kita bisa tetap makan tanpa belanja dari berhutang.
Seperti bulan ini, sejak awal bulan sudah pengeluaran habis-habisan untuk bayar kuliah anak nomer satu,membantu adik yang terlilit rentenir, dan acara lamaran adik yang nomer 7 belum lagi bulan ini banyak sahabat, kerabat yang menikahkan dan mengkhitankan. Sama sekali uang sudah menipis-pis-pis. Bagiku itu bukan masalah, untuk makan bisa diatur. Justru yang jadi pikiranku ketika orang berhutang sedangkan aku dalam keadaan g punya uang seperti ini.
kali ini saudara dari Ayah akan mengadakan resepsi pernikahan anaknya,beliau datang untuk berhutang. Yang pertama uang yang dipinjam cukup besar, jelas aku tidak punya. Ini yang kadang disebut orang sawang sinawang, mereka tak menyadari bahwa ini masih bulan yang sama Tentu aku banyak pengeluaran. Namanya orang berhutang, yang mereka kedepankan adalah keberanian, entah berani atau memang memberanikan diri, mereka tak pernah mengetahui kebutuhan kami lebih besar bulan ini.
Hal inipun diulangi lagi, hari ini datang kepadaku lagi dengan maksud sama. Tapi lain, hanya sekedar 10.000 saja. Jangan dilihat kecilnya nominal. Justru aku melihat nominal 10.000 ini lebih urgent daripada yang ratusan ribu sebelumnya. Mungkin saking enggak ada uangnya, sampai untuk makan sang anak yang hanya 10.000 saja harus berhutang. Apesnya lagi aku yang diharapkan memberi hutang, justru tak punya uang sepeserpun. Semua lembaran uang terbawa suami. Ada, itupun uang koin dalam celengan botol yang tak pernah kubedol meski aku sendiri butuh uang. Ah, betapa tidak berharganya aku, dua kali mengecewakan. Mungkin yang kali ini dia lebih kecewa lagi, sirat wajahnya bisa mengatakan, betapa pelitnya aku uang 10.000 saja tak mau menghutangi. Kalaupun ada ngapain berhutang kalau cuma sepuluh ribu, aku ikhlas memberikan tanpa akad hutang.
Duh, aku sendiri menyesal. Tak bisakah uang gajian suami dimajukan Jumat pagi tadi? Atau hutangnya petang saja ketika suami sudah gajian?
Sak sugih-sugihe uwong mesti ono mlarate
Sak mlarat-mlarate uwong mesti ono celengane.
Mulane uwong ojo mandang bondo. Kita tak pernah tahu, apa yang nampak di depan mata tidak berarti demikian.
Bagiku membantu tidak menunggu ketika harus ada uang. Keadaan g punya uang pun sebisa mungkin turut membantu. Bagaimanapun ketika orang berhutang minimal dia sudah mempunyai keberanian, keberanian untuk menungungkapkan hutang. Eh iya lho. Kerap kalo aku kehabisan uang dalam keadaan no money, justru aku lebih memilih kelaparan. Tidak belanja, suami cukup kuberi makan dengan lauk sambal. Pernah ketika 3 hari sebelum gajian, uang belanja sudah menipis. Uang cukup untuk jatah rokok suami, akupun memutar otak bagaimana caranya kita bisa tetap makan tanpa belanja dari berhutang.
Seperti bulan ini, sejak awal bulan sudah pengeluaran habis-habisan untuk bayar kuliah anak nomer satu,membantu adik yang terlilit rentenir, dan acara lamaran adik yang nomer 7 belum lagi bulan ini banyak sahabat, kerabat yang menikahkan dan mengkhitankan. Sama sekali uang sudah menipis-pis-pis. Bagiku itu bukan masalah, untuk makan bisa diatur. Justru yang jadi pikiranku ketika orang berhutang sedangkan aku dalam keadaan g punya uang seperti ini.
kali ini saudara dari Ayah akan mengadakan resepsi pernikahan anaknya,beliau datang untuk berhutang. Yang pertama uang yang dipinjam cukup besar, jelas aku tidak punya. Ini yang kadang disebut orang sawang sinawang, mereka tak menyadari bahwa ini masih bulan yang sama Tentu aku banyak pengeluaran. Namanya orang berhutang, yang mereka kedepankan adalah keberanian, entah berani atau memang memberanikan diri, mereka tak pernah mengetahui kebutuhan kami lebih besar bulan ini.
Hal inipun diulangi lagi, hari ini datang kepadaku lagi dengan maksud sama. Tapi lain, hanya sekedar 10.000 saja. Jangan dilihat kecilnya nominal. Justru aku melihat nominal 10.000 ini lebih urgent daripada yang ratusan ribu sebelumnya. Mungkin saking enggak ada uangnya, sampai untuk makan sang anak yang hanya 10.000 saja harus berhutang. Apesnya lagi aku yang diharapkan memberi hutang, justru tak punya uang sepeserpun. Semua lembaran uang terbawa suami. Ada, itupun uang koin dalam celengan botol yang tak pernah kubedol meski aku sendiri butuh uang. Ah, betapa tidak berharganya aku, dua kali mengecewakan. Mungkin yang kali ini dia lebih kecewa lagi, sirat wajahnya bisa mengatakan, betapa pelitnya aku uang 10.000 saja tak mau menghutangi. Kalaupun ada ngapain berhutang kalau cuma sepuluh ribu, aku ikhlas memberikan tanpa akad hutang.
Duh, aku sendiri menyesal. Tak bisakah uang gajian suami dimajukan Jumat pagi tadi? Atau hutangnya petang saja ketika suami sudah gajian?
Sak sugih-sugihe uwong mesti ono mlarate
Sak mlarat-mlarate uwong mesti ono celengane.
Mulane uwong ojo mandang bondo. Kita tak pernah tahu, apa yang nampak di depan mata tidak berarti demikian.
No comments:
Post a Comment