Hartatik (Part 1)

Hartatik (Part 1)


Menjadi putri ketiga dari sepuluh bersaudara dengan nama Hartatik merupakan anugerah terindah bagi pasangan matkasan (alm) dan Sumarlik kala itu , Selasa 20/8/1974

Gadis cilik yang lucu , gemuk dan menggemaskan itu tak berapa lama kemudian harus menjaga adik kecilnya karena setiap satu setengah tahun sekali emak melahirkan adik baru hingga berjumlah tujuh orang 

Kehidupan perekonomian yang tidak berpihak pada rakyat miskin menambah derita Hartatik kecil untuk bisa menggantikan posisi bapak atau emak bagi adik-adik nya.

Usia dua belas tahun saat pengumuman kelulusan sekolah dasar aku dapat nilai UN terbaik kala itu , saat bapak tidak pulang-pulang dari perantauan nya di Semarang setelah bertengkar hebat dengan emak .

Kegalauan melanda ketika pendaftaran sekolah menengah telah dibuka dan aku belum punya uang untuk mendaftar " Mak , aku g sekolah ya.. aku bantu emak aja mbellek iwak ", begitu kata ku ke emak . Namun beliau menjawab dengan tegas bahwa aku harus sekolah agar bisa merubah nasib keluarga. 

Maka terpaksa aku mengikuti kemauan Mak dengan sekolah di SMP terdekat dan masuknya siang supaya paginya bisa bantu emak di rumah maupun jualan krupuk dan teh botol di pantai ria 

Rutinitas sehari-hari yang tak pernah ku lupakan bagaimana aku harus hidup tegar di kehidupan yang sulit diantara perihnya perut dan keringnya air mata akan perjuangan anak wedok mbarep 

Setiap hari cucian menumpuk di sumur balai desa sudah menunggu sebelum mbellek iwak lalu berangkat ke pantai ria dengan membawa gerobak teh botol dan tampah kerupuk untuk dijual.

Menjelang tengah hari posisiku diganti Mak yang sudah menyelesaikan pekerjaan dirumah dan aku berangkat sekolah hingga sore hari , dan begitu seterusnya selama tiga tahun berjalan hingga aku lulus SMP dengan nilai terbaik 

Lagi-lagi ujian belum berakhir di awal masuk dan akhir ujian SMA bapak merantau lagi ke Semarang hingga berbulan-bulan tidak pulang semua beban hidup hanya Mak dan aku yang mikul ,sementara kakak laki-laki ku belajar di bangku pesantren Jogja dan Jombang.

Sampai kemudian itu adalah petualangan bapak yang terakhir pergi dari rumah setelah beliau mengalami kecelakaan saat pulang dari Semarang menuju ke Surabaya .

Pelan tapi pasti adik-adik semakin besar dengan liku kehidupan yang berbeda , setelah lahirnya adik ke tujuh , delapan , sembilan dan sepuluh di pesantren kan oleh bapak ke Jogja dan Lamongan.

Dan aku dipinang oleh jejaka dekat rumah yang berprofesi sebagai TNI - AL ,  seiring dengan tugas baru sebagai pendidik di TK dan berjualan bensin di rumah kehidupanku mulai berangsur-angsur membaik.